Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah hendaklah dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hambaNya dalam kedudukan sebagaimana dia menempatkan kedudukan Allah pada dirinya. (HR. Al Hakim)

Hikmah dalam Berdakwah

by Blue Savir | 16.29 in |

Oleh Ust. Abdullah Zain, Lc

Segala puji bagi Allah ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul-Nya Shallahu’alaihi wa sallam.

            Di suatu rumah: "Pokoknya mulai hari ini bapak dan ibu tidak boleh lagi pergi ke dukun dan tidak boleh lagi sedekah bumi, tidak boleh ikut maulidan dan tahlilan, tidak boleh nonton tv, bapak harus memendekkan celana panjang di atas mata kaki, dan ibu harus memakai cadar!!", demikian 'instruksi' seorang pemuda yang baru 'ngaji' kepada bapak dan ibunya. "Memang kenapa?!" tanya orang tuanya dengan nada tinggi. "Karena itu syirik, bid'ah dan maksiat!" jawab si anak berargumentasi. "Kamu itu anak kemarin sore, tahu apa?! Tidak usah macam-macam, kalau tidak mau tinggal di rumah ini keluar saja!!" si bapak dan ibu menutup perdebatan dalam rumah kecil itu.

            Salah seorang sahabat pemuda tadi yang telah lebih lama ngaji dan telah lebih banyak makan asam garam, menasehati temannya yang tengah bersemangat empat lima dalam menasehati orang tuanya, "Bertahaplah akhi dalam mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang ada di rumah antum[1] Antum harus bersikap lebih hikmah…". "Lho, bukankah kita harus menyampaikan yang haq meskipun itu pahit?!" jawab si pemuda itu dengan penuh tanda tanya.

            Di tempat lain, seorang 'juru dakwah' namun minim ilmu, kerap ikut larut dalam ritual-ritual syirik dan acara-acara bid'ah, sambil sesekali bermusik ria dengan dalih pendekatan masyarakat sebelum mendakwahi mereka. Ketika ada seorang yang komplain padanya, "Akhi, itu khan acara-acara syirik, bid'ah dan maksiat? Kenapa antum ikut hanyut di dalamnya?". "Kita harus bersikap hikmah dalam berdakwah, kalau kita tidak mengikuti acara-acara itu terlebih dahulu, masyarakat akan lari dan menjauhi kita! Bukankah Islam itu rohmatan lil 'alamien?" jawab si 'juru dakwah' tadi dengan ringan.

            Mungkin dua kisah di atas bisa mewakili dua kelompok yang amat bertolak belakang dalam memahami kata hikmah saat berdakwah. 

 

3 Golongan Manusia dalam Menyikapi Istilah Hikmah:

  1. Golongan yang tidak mempedulikan sikap hikmah dalam berdakwah, sehingga terkesan agak ngawur dalam berdakwah.
  2. Golongan yang terlalu longgar dalam memahami istilah hikmah, sehingga kerap 'mengorbankan' beberapa syari'at Islam dengan alasan hikmah dalam berdakwah, sebagaimana telah kita singgung sedikit di atas.
  3. Golongan yang tengah, yaitu golongan yang memahami kata hikmah dengan benar dan senantiasa menerapkan sikap hikmah dalam dakwahnya; sehingga dia selalu mempertimbangkan segala gerak-gerik serta cara dia berdakwah dengan timbangan ini.

Kalau begitu, lantas apa definisi yang benar dari kata hikmah?

 

Definisi Hikmah:

            Kata hikmah di dalam al-Qur'an ada dua macam[2]:

  1. Disebutkan berdampingan dengan kata al-Qur'an.
  2. Tidak berdampingan dengan kata al-Qur'an, namun disebutkan sendirian.

            Jika bergandengan dengan kata al-Qur'an maka hikmah berarti: hadits Rasul Shallahu’alaihi wa sallam. Contohnya: firman Allah ta'ala,

 

Artinya: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (hadits). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata". QS. Ali Imran: 164.

            Namun jika kata hikmah disebutkan sendirian tanpa didampingkan dengan kata al-Qur'an maka maknanya adalah: Tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai[3].

            Di antara contoh penafsiran kata hikmah dengan makna kedua ini[4] adalah firman Allah ta'ala,

 

Artinya: "Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)". QS. Al-Baqarah: 269.

 

Perintah untuk bersikap hikmah dalam berdakwah:

            Di antara dalil-dalil yang memerintahkan kita untuk bersikap hikmah dalam berdakwah: firman Allah ta'ala,

 

Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk". QS. An-Nahl: 125.

            Imam Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah menafsirkan ayat di atas: Ajaklah para manusia -baik mereka yang beragama Islam maupun mereka yang non muslim- kepada jalan Allah yang lurus dengan hikmah; yang berarti masing-masing sesuai dengan kondisi, tingkat pemahaman, perkataan dan taraf ketaatannya. Juga dengan nasehat yang baik yaitu: perintah dan larangan yang dibarengi dengan hasungan dan ancaman. Adapun jika yang didakwahi tersebut menganggap bahwa apa yang dia kerjakan atau dia yakini selama ini adalah benar, -padahal sebenarnya salah- maka debatlah mereka dengan cara yang baik berlandaskan dalil-dalil syar'i maupun akal[5].

            Al-'Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah memaparkan dengan gamblang bahwa sikap hikmah ini "merupakan salah satu sikap yang kurang dimiliki oleh banyak para juru dakwah, sehingga mengakibatkan dakwah mereka kacau; dikarenakan mereka tidak kembali kepada metode dakwah Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam "[6].

 

Pilar-Pilar Hikmah:

            Sikap hikmah dibangun di atas tiga pilar:

  1. Ilmu.
  2. Al-hilmu (bijaksana).
  3. Al-anaah (tidak tergesa-gesa)[7].

Di antara tiga pilar ini, pilar yang paling utama dan yang paling penting adalah pilar pertama yaitu ilmu. Dan ilmu yang dimaksud di sini adalah al-Qur'an dan hadits serta pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salaf ash-shalih)[8].

Maka seseorang tidak akan bisa bersikap hikmah dalam berdakwah, melainkan jika dia melandaskan sikap-sikapnya di atas dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta pemahaman salaf ash-shalih. Dari sinilah terlihat jelas kekeliruan sebagian orang yang 'mengesampingkan' perintah-perintah Allah, apalagi perintah yang paling penting yaitu tauhid, atau ikut 'larut terbawa arus' adat masyarakat yang menyelisihi syari'at, semua itu dengan alasan hikmah dalam berdakwah!

 

 



[1] InsyaAllah akan kami jelaskan dengan lebih luas masalah bertahap dalam mengingkari  kemungkaran pada contoh kesembilan dari tulisan ini.

[2] Lihat: Madarij as-Salikin karya Imam Ibn al-Qayyim (II/478).

[3] Lihat: Al-Hikmah fi ad-Da'wah ila Allah karya Sa'id bin Ali al-Qahthani (hal. 30) dan Ashnaf al-Mad'uwwin wa Kaifiyatu Da'watihim karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaili (hal. 33).

[4] Lihat: Tafsir ath-Thabari (V/576 ayat 269 dari surat al-Baqarah -cet Mu'assasah ar-Risalah).

[5] Lihat: Tafsir as-Sa'di (hal. 404).

[6] Kata pengantar beliau untuk kitab at-Tadarruj fi Da'wah an-Nabi Shallahu’alaihi wa sallam, karya Ibrahim bin Abdullah al-Muthlaq (hal. 8).

[7] Madarij as-Salikin (II/480).

[8] Lihat: Ad-Da'wah ila Allah wa Akhlaq ad-Du'at oleh Syaikh al-'Allamah Abdul Aziz bin Baz (hal. 25-26).

0 komentar: