Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah hendaklah dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hambaNya dalam kedudukan sebagaimana dia menempatkan kedudukan Allah pada dirinya. (HR. Al Hakim)

“Bunga di Tepi Jalan”

by Blue Savir | 18.51 in | komentar (0)

Kau yang terasing dalam hidupmu

Kau yang sinari hatimu dengan ketakwaan

Kau basahi bibirmu dengan dzikir pada Allah

Kau hidupkan malam dengan do’a-mu

 

Kau bagai bunga di tepi jalan

Seribu mata tak memandangmu

Namun Malaikat kan s’lalu menjagamu

Sejuta bintang yang kan mendo’a-kanmu

 

Hidupmu hanya untuk berjuang…

Menegakkan Kalimat tauhid..

Meski terkadang kau tak sempurna

 

Kau yang senantiasa bersyukur

Atas segala limpahan rahmat…

Hanya cinta kepada-Nya

Yang bertahta di hatimu…

 

Dalam duka ini…

Dalam luka ini…

Kini kau bagai senja yang tenggelam

Terpesona oleh lilin-lilin..

Yang memancarkan keindahan…

“Aku Takut”

by Blue Savir | 18.41 in | komentar (0)

Aku…

Aku bertahan diantara kemunafikan

Aku…

Aku menangis bagai embun

 

Kian lama iman semakin merapuh

Girah ini mulai memudar..

Saat aku tak lagi..

Tapaki jalan yang lurus

 

Tak ada yang indah

Dengan semua kemungkaran ini

Aku begitu takut…

Siksa kan menjemputku

 

Ya Allah…

Hamba mohon maghfirah dari-Mu

 

Dunia terlalu hina

Untuk Tempatku bernaung

Sebaik-baik tempat

Adalah Firdaus-Mu

 

Ya Allah aku rindu

Cintamu seperti dulu…

Hikmah dalam Berdakwah

by Blue Savir | 16.29 in | komentar (0)

Oleh Ust. Abdullah Zain, Lc

Segala puji bagi Allah ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul-Nya Shallahu’alaihi wa sallam.

            Di suatu rumah: "Pokoknya mulai hari ini bapak dan ibu tidak boleh lagi pergi ke dukun dan tidak boleh lagi sedekah bumi, tidak boleh ikut maulidan dan tahlilan, tidak boleh nonton tv, bapak harus memendekkan celana panjang di atas mata kaki, dan ibu harus memakai cadar!!", demikian 'instruksi' seorang pemuda yang baru 'ngaji' kepada bapak dan ibunya. "Memang kenapa?!" tanya orang tuanya dengan nada tinggi. "Karena itu syirik, bid'ah dan maksiat!" jawab si anak berargumentasi. "Kamu itu anak kemarin sore, tahu apa?! Tidak usah macam-macam, kalau tidak mau tinggal di rumah ini keluar saja!!" si bapak dan ibu menutup perdebatan dalam rumah kecil itu.

            Salah seorang sahabat pemuda tadi yang telah lebih lama ngaji dan telah lebih banyak makan asam garam, menasehati temannya yang tengah bersemangat empat lima dalam menasehati orang tuanya, "Bertahaplah akhi dalam mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang ada di rumah antum[1] Antum harus bersikap lebih hikmah…". "Lho, bukankah kita harus menyampaikan yang haq meskipun itu pahit?!" jawab si pemuda itu dengan penuh tanda tanya.

            Di tempat lain, seorang 'juru dakwah' namun minim ilmu, kerap ikut larut dalam ritual-ritual syirik dan acara-acara bid'ah, sambil sesekali bermusik ria dengan dalih pendekatan masyarakat sebelum mendakwahi mereka. Ketika ada seorang yang komplain padanya, "Akhi, itu khan acara-acara syirik, bid'ah dan maksiat? Kenapa antum ikut hanyut di dalamnya?". "Kita harus bersikap hikmah dalam berdakwah, kalau kita tidak mengikuti acara-acara itu terlebih dahulu, masyarakat akan lari dan menjauhi kita! Bukankah Islam itu rohmatan lil 'alamien?" jawab si 'juru dakwah' tadi dengan ringan.

            Mungkin dua kisah di atas bisa mewakili dua kelompok yang amat bertolak belakang dalam memahami kata hikmah saat berdakwah. 

 

3 Golongan Manusia dalam Menyikapi Istilah Hikmah:

  1. Golongan yang tidak mempedulikan sikap hikmah dalam berdakwah, sehingga terkesan agak ngawur dalam berdakwah.
  2. Golongan yang terlalu longgar dalam memahami istilah hikmah, sehingga kerap 'mengorbankan' beberapa syari'at Islam dengan alasan hikmah dalam berdakwah, sebagaimana telah kita singgung sedikit di atas.
  3. Golongan yang tengah, yaitu golongan yang memahami kata hikmah dengan benar dan senantiasa menerapkan sikap hikmah dalam dakwahnya; sehingga dia selalu mempertimbangkan segala gerak-gerik serta cara dia berdakwah dengan timbangan ini.

Kalau begitu, lantas apa definisi yang benar dari kata hikmah?

 

Definisi Hikmah:

            Kata hikmah di dalam al-Qur'an ada dua macam[2]:

  1. Disebutkan berdampingan dengan kata al-Qur'an.
  2. Tidak berdampingan dengan kata al-Qur'an, namun disebutkan sendirian.

            Jika bergandengan dengan kata al-Qur'an maka hikmah berarti: hadits Rasul Shallahu’alaihi wa sallam. Contohnya: firman Allah ta'ala,

 

Artinya: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (hadits). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata". QS. Ali Imran: 164.

            Namun jika kata hikmah disebutkan sendirian tanpa didampingkan dengan kata al-Qur'an maka maknanya adalah: Tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai[3].

            Di antara contoh penafsiran kata hikmah dengan makna kedua ini[4] adalah firman Allah ta'ala,

 

Artinya: "Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)". QS. Al-Baqarah: 269.

 

Perintah untuk bersikap hikmah dalam berdakwah:

            Di antara dalil-dalil yang memerintahkan kita untuk bersikap hikmah dalam berdakwah: firman Allah ta'ala,

 

Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk". QS. An-Nahl: 125.

            Imam Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah menafsirkan ayat di atas: Ajaklah para manusia -baik mereka yang beragama Islam maupun mereka yang non muslim- kepada jalan Allah yang lurus dengan hikmah; yang berarti masing-masing sesuai dengan kondisi, tingkat pemahaman, perkataan dan taraf ketaatannya. Juga dengan nasehat yang baik yaitu: perintah dan larangan yang dibarengi dengan hasungan dan ancaman. Adapun jika yang didakwahi tersebut menganggap bahwa apa yang dia kerjakan atau dia yakini selama ini adalah benar, -padahal sebenarnya salah- maka debatlah mereka dengan cara yang baik berlandaskan dalil-dalil syar'i maupun akal[5].

            Al-'Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah memaparkan dengan gamblang bahwa sikap hikmah ini "merupakan salah satu sikap yang kurang dimiliki oleh banyak para juru dakwah, sehingga mengakibatkan dakwah mereka kacau; dikarenakan mereka tidak kembali kepada metode dakwah Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam "[6].

 

Pilar-Pilar Hikmah:

            Sikap hikmah dibangun di atas tiga pilar:

  1. Ilmu.
  2. Al-hilmu (bijaksana).
  3. Al-anaah (tidak tergesa-gesa)[7].

Di antara tiga pilar ini, pilar yang paling utama dan yang paling penting adalah pilar pertama yaitu ilmu. Dan ilmu yang dimaksud di sini adalah al-Qur'an dan hadits serta pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salaf ash-shalih)[8].

Maka seseorang tidak akan bisa bersikap hikmah dalam berdakwah, melainkan jika dia melandaskan sikap-sikapnya di atas dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta pemahaman salaf ash-shalih. Dari sinilah terlihat jelas kekeliruan sebagian orang yang 'mengesampingkan' perintah-perintah Allah, apalagi perintah yang paling penting yaitu tauhid, atau ikut 'larut terbawa arus' adat masyarakat yang menyelisihi syari'at, semua itu dengan alasan hikmah dalam berdakwah!

 

 



[1] InsyaAllah akan kami jelaskan dengan lebih luas masalah bertahap dalam mengingkari  kemungkaran pada contoh kesembilan dari tulisan ini.

[2] Lihat: Madarij as-Salikin karya Imam Ibn al-Qayyim (II/478).

[3] Lihat: Al-Hikmah fi ad-Da'wah ila Allah karya Sa'id bin Ali al-Qahthani (hal. 30) dan Ashnaf al-Mad'uwwin wa Kaifiyatu Da'watihim karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaili (hal. 33).

[4] Lihat: Tafsir ath-Thabari (V/576 ayat 269 dari surat al-Baqarah -cet Mu'assasah ar-Risalah).

[5] Lihat: Tafsir as-Sa'di (hal. 404).

[6] Kata pengantar beliau untuk kitab at-Tadarruj fi Da'wah an-Nabi Shallahu’alaihi wa sallam, karya Ibrahim bin Abdullah al-Muthlaq (hal. 8).

[7] Madarij as-Salikin (II/480).

[8] Lihat: Ad-Da'wah ila Allah wa Akhlaq ad-Du'at oleh Syaikh al-'Allamah Abdul Aziz bin Baz (hal. 25-26).

Segala puji bagi Allah, kami menyanjung-Nya, meminta pertolongan, mengharap ampunan dan petunjuk kepada-Nya. Dan kami berlindung kepada Allah dari kejelekan diri dan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang bisa memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad ` adalah hamba dan utusan-Nya.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

'Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa dan janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan muslim' [QS Ali Imron 102].

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

'Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama – Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu' [QS An Nisa 1]

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا(70)يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

'Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar' [QS Al Ahzab 70-71]

Amma ba'du : Sesungguhnya sebenar-benarnya ucapan adalah kitabullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuknya Nabi . Dan sejelek-jeleknya perkara adalah hal-hal baru (dalam agama), dan setiap hal yang baru (dalam agama) adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Ma'asyiral muslimin -rahimani wa rahimakumullah-, disebutkan dalam shohih Bukhori, Muslim dan selainnya : "Bahwasanya Nabi  pernah suatu ketika membagikan harta rampasan kepada para sahabatnya, lalu tiba-tiba datang seseorang yang bernama Dzul khuwaisiroh At-Tamimi seraya mengatakan kepada Nabi  : "‍اِعدِل يَا مُحَمَّدُ" "Berlaku adillah wahai Muhammad!". Mendengar ucapan itu, Rasulullah  marah sambil berkata: "وَيحَك وَمَن يَعدِل إِن لَم اَعدِل؟": "Celakalah engkau, jika aku tidak bisa berbuat adil maka siapa yang bisa berbuat adil ?". Sahabat Umar  yang hadir pada saat itu berkata : " يَا رَسُولَ الله اِئذَن لِي فَأَضرِب عُنُقَهُ " "Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk memenggal leher orang ini". Rasul  pun menjawab :
"دَعهُ فَإِنَّ لَهُ أَصحَابًا يَحقِرُ أَحَدُكُم صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِ, يَمرُقُونَ مِنَ الدِينِ كَمَا يَمرُقُ السَهمُ مِنَ الرَمِيَّة"
"Biarkanlah dia (Wahai Umar), karena dia memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian merasa sedikit sholat maupun puasanya dibanding dengan sholat dan puasa mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya".

Ma'asyiral muslimin -rahimani wa rahimakumullah-, inilah benih, inilah cikal bakal, inilah nenek moyang sebuah aliran sesat, sebuah kelompok sempalan yang menisbatkan diri mereka kepada Islam, yang bernama Al-Khowarij. Mereka tidak pernah puas dengan pemimpin kaum muslimin, mereka selalu ingin memberontak kepada penguasa kaum muslimin, dan selalu menyebarkan aib-aib penguasa. Mereka menyeru rakyat untuk memberontak kepada penguasa dan mereka ini akan selalu muncul di setiap saat sampai akhir zaman nanti, sebagaimana yang pernah disabdakan Nabi  : "Akan keluar sekelompok orang diakhir zaman nanti, mereka masih ingusan dan bodoh. Mereka membaca al-qur'an tapi keimanan mereka tidak sampai kepada kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari sasarannya. Dimana saja kalian bertemu mereka maka perangilah mereka, karena didalam memerangi mereka terdapat pahala bagi orang yang memerangi mereka di hari kiamat nanti". (HR.Bukhori)

Ma'asyiral muslimin -rahimani wa rahimakumullah-, kelompok ini selalu mengobarkan bendera jihad untuk memerangi kaum muslimin, kelompok yang menghalalkan darah kaum muslimin. Tidak ada bukti yang lebih nyata akan hal diatas ini melainkan kisah mereka ketika mereka ikut andil dalam pembunuhan seorang kholifah ar-rasyid Ustman bin Affan . Merekalah yang ikut andil dalam pengepungan terhadap rumah Utsman bin Affan . Setelah itu, mereka semakin merajalela dikala kekholifahan Ali bin Abi Tholib . Mereka mengkafirkan Ali bin Abi Tholib dan para sahabatnya . Merekalah yang paling bertanggung jawab dalam pembunuhan terhadap Ali bin Abi Tholib . Seseorang yang bernama Abdurrahman bin Muljam Al-Himyari, dialah pelaku pembunuhan terhadap kholifah ar-rasyid Ali bin Abi Tholib . Pada waktu dia ingin membunuh Ali bin Abi Tholib  yaitu ketika pedangnya disabetkan kepada Ali bin Abi Tholib dia sempat membaca ayat al-Qur'an. " إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ" "Tidak ada hukum kecuali hukum Allah" dan
" وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ"
"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya."

Membunuh Ali bin Abi Tholib dianggap oleh Abdurrahman bin Muljam sebagai bentuk jihad, sebagai bentuk perjuangan di jalan Allah. Subhanallah, demikianlah kesesatan kalau sudah masuk kedalam hati dan otak manusia, tidak tahu mana malam mana siang, mana kegelapan mana cahaya. Membunuh seorang kholifah ar-rosyid, membunuh seorang sahabat yang dijamin masuk surga dianggap sebagai bentuk jihad, sebagai bentuk perjuangan dalam Islam.

Oleh karena itu, kaum muslimin -rahimani wa rahimakumullah- marilah kita selalu bertakwa kepada Allah subhanahu wata'ala, selalu menuntut ilmu agama ini dari sumbernya (al-Qur'an dan Sunnah sesuai pemahaman sahabat Nabi ). Adapun slogan-slogan, semboyan-semboyan, dan seruan-seruan yang terkadang berlebelkan Islam jangan kita mudah terpengaruh. Janganlah kita tertipu, sampai kita menimbangnya diatas al-Qur'an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah, para sahabat, para tabi'in dan tabiut tabi'in.

Ma'asyiral muslimin -rahimani wa rahinakumullah-, "Maa asbaha allaila bil baariha" alangkah miripnya kelompok-kelompok sekarang yang menghalalkan darah kaum muslimin, yang mereka melakukan teror dimana-mana, entah di Indonesia, di Saudi Arabia, di Yordania dan lain-lain dengan melakukan peledakan-peledakan, pengeboman-pengeboman dengan mengatas namakan Islam dan mereka anggap sebagai jihad. Apakah hal ini bisa dibenarkan? Bagaimana bisa dikatakan jihad orang-orang yang membunuh kaum muslimin, yang membunuh orang-orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah kaum muslimin? Bagaimana bisa dikatakan jihad orang-orang yang membunuh wanita-wanita dan anak-anak kecil yang tidak berdosa? Bagaimana membunuh orang mukmin bisa dikatakan jihad, sedangkan Allah  berfirman :

" وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا "

"Barangsiapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka jahannam dia kekal didalamnya sealama-lamanya dan Allah murka kepadanya, dan Allah melaknatnya dan Allah juga menyediakan baginya adzab yang pedih". (QS.An-Nisa' : 93)

Bagaimana mungkin membunuh orang mukmin atau muslim dianggap sebagai jihad, sedangkan Nabi  bersabda :

"لَزَوَالُ الدُنيَا أَهوَنُ عَلَى الله مِن قَتلِ مُؤمِنٍ بِغَيرِ حَقٍّ, وَلَو أَنَّ أَهلَ سَمَاوَاتِهِ وَأَهلَ أَرضِهِ اشتَرَكُوا فِي دَمِ مُؤمِنٍ لَأَدخَلَهُم الله النارَ"

"Sungguh musnahnya dunia itu tidak seberapa dibandingkan dengan pembunuhan seorang muslim tanpa hak dan seandainya semua penduduk langit dan bumi bersatu dalam pembunuhan seorang mukmin saja, maka Allah akan memasukkan mereka semua kedalam neraka".
Bagaimana mungkin membunuh orang-orang kafir yang masuk kedalam negeri kaum muslimin dan mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintah kaum muslimin dikatakan jihad, sedangkan Nabi  bersabda :

"مَن قَتَلَ نَفسًا مُعَاهَدًا لَم يَرَح رَائِحَةَ الجَنَّةِ"

"Barangsiapa yang membunuh seorang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah kaum muslimin maka dia tidak akan mencium bau surga" (HR.Bukhori)

Bagaimana mungkin bisa dikatakan jihad orang-orang yang membunuh perempuan-perempuan dan anak-anak kecil yang tidak berdosa, sedangkan Nabi  selalu mewasiatkan kepada pasukannya pada waktu mereka berjihad dengan ucapan beliau:

"اُغزُوا بِسمِ الله وَفِي سَبِيلِ الله وَقَاتِلُوا مَن كَفَرَ بِالله وَلَا تَغدِرُوا وَلَا تُمَثِّلُوا وَلَا تَقتُلُوا وَلِيدًا"

"Berperanglah kalian di jalan Allah dengan menyebut nama Allah dan perangilah orang-orang yang mengkufuri Allah. Jangan kalian curang dan jangan menyincang serta jangan membunuh anak-anak kecil".

Bagaimana bisa dikatakan jihad orang-orang yang memberontak kepada penguasa kaum muslimin, sedangkan Allah berfirman :

" يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ "

"Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya dan para pemimpin kalian" (QS.An-Nisa' : 59)

Ma'asyiral muslimin -rahimani wa rahimakumullah-, ittaqullah, bertakwalah kepada Allah, dan bertakwalah mereka yang telah terjerumus kedalam pemikiran khowarij yang menghalalkan darah kaum muslimin atau membunuh orang-orang yang tidak bersalah, yang selalu memberontak kepada penguasa kaum muslimin serta bertakwalah mereka yang mendukung, yang menyetujui orang-orang yang membuat teror terhadap kaum muslimin !!!

Ma'asyiral muslimin -rahimani wa rahimakumullah-, jihad adalah ibadah sebagaimana sholat, haji, zakat harus mengikuti dan mencontoh Sunnah Rasul . Oleh karena itulah Ali bin Abi Tholib  mentafsirkan ayat dalam surat Al-Kahfi ayat 103-104 :

" قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا(103)الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا "

"Katakanlah wahai Muhammad apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya"
Ali bin Abi Tholib mengatakan itulah khowarij. Karena apa ? karena mereka melaksanakan suatu ibadah, mereka mengobarkan jihad tanpa ilmu, tanpa mengikuti sunnah Rasulullah , sehingga mereka berani mengkafirkan, mereka berani menghalalkan darah sahabat Nabi .
Ma'asyiral muslimin -rahimani wa rahimakumullah-, Islam tidak akan jaya selama kaum muslimin menyimpang dari ajaran agamanya. Umat Islam tidak akan pernah menjadi jaya selama mereka tidak mau kembali kepada ajaran Islam yang murni yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, yang diajarkan Nabi  kepada para sahabatnya. Didalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud v bahwasanya Nabi  bersabda :

“سَلَّطَ الله عَلَيكُم ذُلّا لَا يَنزِعُهُ حَتَّى تَرجِعوا إِلَى دِينِكم…”

“….Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian", yaitu kembali kepada aqidah yang murni, kembali kepada tauhid, kepada Sunnah Nabi , kepada metode sahabat Nabi  dalam segala hal, dalam aqidah, ibadah, jihad, dalam berdakwah, dan dalam mendidik kaum muslimin.

Tapi jika kaum muslimin tidak mau kembali kepada hal tersebut, maka sekarang inilah kaum muslimin meresakan bagaimana kehinaan itu, bagaimana mereka diporak porandakan oleh orang-orang kuffar, bukan karena kekuatan mereka tapi karena kelemahan kita. Dan Allah  tidak akan merubah keadaan kaum muslimin yang terhina ini sampai mereka mau merubah keadaan mereka sendiri. Allah berfirman :

“إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ”

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu merubah diri mereka sendiri”. Kaum muslilmin tidak akan terubah keadaannya sampai mereka mengubah aqidah mereka yang rusak, merubah aqidah mereka yang tercampur dengan kesyirikan, yang merupakan bentuk penyekutuan kepada Allah . Dan merubah diri dari berdoa kepada wali-wali yang telah mati kepada berdoa hanya kepada Allah  saja. Merubah ibadah-ibadah mereka yang penuh dengan bid’ah kepada Sunnah Nabi . Dengan itulah, mereka akan menjadi mulia, mereka akan menjadi jaya, sebagaimana kejayaan yang telah diperoleh oleh para sahabat Nabi . Imam Malik v pernah mengatakan :

"لَن يُصلِحَ آخِرَ هَذِهِ الأَمَّة إِلاَّ مَا أَصلَحَ أَوَّلَهَا"

“Tidak akan membaikkan umat ini kecuali dengan apa yang membaikkan umat terdahulu” yaitu para sahabat Nabi , yang selalu mengikuti Sunnah beliau dalam setiap hal.

Khutbah kedua
Segala puji bagi Allah, sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, serta seluruh sahabat dan para pengikut beliau yang setia. Amma ba'du :
Saya wasiatkan kepada diri saya dan kaum muslimin semuanya untuk selalu bertakwa kepada Allah  dengan mengikuti Sunnah Rasul , dengan selalu menuntut ilmu agama baik aqidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak. Karena memang tidak ada kebaikan bagi seorang muslim kecuali dengan dia tahu agamanya, dengan dia menuntut ilmu agamanya. Nabi  pernah bersabda:

“مَن يُرِدِ الله بِهِ خَيرًا يُفَقِّهُ فِي الدِينِ”

“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan baginya maka Allah akan pahamkan kepadanya agama” (Muttafaqun 'alaihi).

Tidak ada kebaikan kecuali bagi yang memahami agama ini dengan sebenar-benarnya, memahami agama ini sesuai dengan pemahaman yang benar, pemahaman salafus sholih, pemahaman sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.

Ma'asyiral muslimin -rahimani wa rahimakumullah-, pada khutbah kedua kali ini saya ingin mengingatkan kaum muslimin akan suatu hal yang sekarang sering diucapkan oleh sebagian kaum muslimin yaitu kata-kata atau istilah Asy-Syahid. Banyak di koran-koran atau di media masa dan yang lainnya kita jumpai seseorang menyatakan fulan (si B) itu syahid, (si C) itu syahid. Padahal kita tidak tahu apakah dia betul-betul berjuang di jalan Allah ? Apakah betul-betul dia telah menelusuri jejak Rasul  ? Oleh karenanya, Imam Bukhari v dalam shohihnya membuat suatu bab atau judul yaitu “Laa yuqoolu fulanun Syahid” "Tidak (boleh) dikatakan seseorang itu syahid" dan beliau berdalil dengan dua hadits, yang pertama yang artinya: “Allahlah yang paling tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya” kemudian hadits yang kedua kisah peperangan yang terjadi pada zaman Nabi . Nabi saw pada waktu itu berperang dengan orang-orang musyrikin, sebagian para sahabat mengatakan sungguh tidak ada yang lebih banyak jasanya dari pada si fulan. Kemudian Nabi  mengatakan “Dia dineraka. Para sahabat pun terheran-heran, kenapa Nabi  mengatakan hal seperti itu padahal kita melihat sendiri si fulan itu sangat berjasa, sangat berjuang di jalan Allah memerangi orang-orang musyrikin. Tidak tahunya orang tersebut ketika mau meninggal dunia membunuh dirinya sendiri.

Dari sinilah Imam Bukhari v menyatakan tidak bolehnya mengatakan fulan syahid, si A atau si B itu mati syahid, karena permasalahannya ada ditangan Allah . Tidak ada yang mengetahui syahid atau tidak kecuali Allah . Kemudian hal ini dikomentari oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani v dalam Fathul bari, beliau mengatakan ketika mengomentari judul bab "laa yuqolu fulanun syahid" "Tidak boleh dikatakan fulan itu syahid" : “Alal qot’I fi dzalik” yaitu memastikan orang itu syahid “Illa inkana bil wahyi” kecuali kalau ada wahyu (bahwa si B atau si C syahid). Kemudian Ibnu Hajar Al-Asqolani membawakan ucapan Umar bin Khottob . Umar dalam khutbahnya pernah mengatakan : “Kalian mengatakan dalam peperangan kalian, fulan (si B) itu syahid dan fulan (si C) itu meninggal dalam keadaan syahid, Janganlah kalian mengatakan seperti itu, akan tetapi ucapkanlah (secara global) seperti yang dikatakan oleh Rasulullah  : "Barangsiapa yang mati di jalan Allah atau terbunuh di jalan Allah maka dia syahid”.

Oleh karena itu ikhwani fillah, maasyiral muslimin -rahimani wa rahimakumullah-, jangan kita mudah mengatakan fulan syahid, orang itu syahid, orang itu termasuk syuhada’ atau orang itu telah bertemu dengan Allah disyurga-Nya, dan telah bertemu dengan bidadari.
Oleh karena itulah, aqidah Ahlus sunnah wal jamaah sebagaimana yang dinukilkan oleh Imam Ath-Thohawiyah dalam aqidah thohawiyyah beliau mengatakan :

“وَنَرجُو لَلمُحسِنين مِن المُؤمِنِينَ أَن يَعفثوَ عَنهُم وَيُدخِلَهُمُ الجَنَّةَ بِرَحمَتِه وَلَا نأمَنُ عَلَيهِم وَلَا نَشهَد لَهُم بِالجَنَّةِ”

"Kita hanya bisa berharap bagi orang-orang yang berbuat baik dari kalangan orang-orang yang beriman agar Allah mengampuni dosa-dosanya dan agar Allah memasukkannya kedalam surga dengan rahmat-Nya. Tapi kita tidak bisa menjamin dan kita tidak bisa mengatakan dia itu di surga".

Inilah aqidah Ahlus sunnah wal jamaah, tidak boleh memastikan dia mati syahid, dia masuk surga atau masuk neraka. Kita hanya bisa berharap semoga yang berjuang di jalan Allah dia bisa masuk surga dan kita mengharap semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.

Sekali lagi, kembalilah kepada Ahlu sunnah wal jamaah, kepada pemahaman salafus sholih agar kita tidak tersesat dan tidak tergelincir dimana-mana. Dan janganlah kita tertipu dengan slogan-slogan yang ada, jihad fisabilillah atau sekarang banyak istilah film-film Islami, musik Islami, semua ditempelkan kepada Islam. Dan juga sekolah Islami yang terkadang banyak menghancurkan Islam dari dalam tanpa mereka sadari. Lihat hakekatnya, lihat apakah sesuai dengan Sunnah, sesuai dengan metode para salafus sholeh atau tidak !
Ma'asyiral muslimin -rahimani wa rahimakumullah-, “Assunnah safinatun najah” Sunnah Nabi (dan metode para sahabat) adalah jalan keselamatan, barangsiapa yang menyimpang darinya maka dia akan binasa.