Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah hendaklah dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hambaNya dalam kedudukan sebagaimana dia menempatkan kedudukan Allah pada dirinya. (HR. Al Hakim)

Hari mulai beranjak siang, ketika itu di dalam rungan kelas yang lumayan dingin 2 orang mahasiswa tengah duduk di bangku paling belakang yaitu Zakaria dan salah seorang temannya yang bernama akhi Jono. Saat itu pelajaran tengah berlangsung serius, namun akhi Jono terus memperhatikan Zakaria yang terlihat seperti sedang melamun.

”Hei... Ya.. kamu koq melamun terus, apa yang sedang ada di pikiran kamu tuch?”. kata akhi Jono.
”Aku gak tahu pasti Jon... Yang jelas batin ini rasanya sakit sekali.”
”Kan sakitnya baru sekali aja Ya, belum dua kali... Ada apa sih Ya, kamu patah hati lagi ya...?” sindir akhi Jono.
”Wah kamu ini, aku tuch serius Jon... padahal kamu tahu sendiri kan klo sekarang aku bukan Zakaria yang dulu lagi. Aku sudah berubah... gak mungkin aku dekat dengan wanita, apalagi sampai patah hati.”
”Lah... terus sakit hatimu klo bukan karena wanita karena apa donk Ya?”
”Sebenernya masih karena wanita sih, tapi yang ini buka wanita biasa Jon... ”
”Bukan wanita biasa... maksud kamu mbak yang jual Gado-gado di depan kantin itu ya...”
”Gila kamu Jon, masa’ aku sakit hati karena mbak yang jual Gado-gado... maksudku tuch akhwat Jooon.. akhwat..”
”Oh Akhwat... ngobrol donk broo.. emangnya akhwat mana yang sudah bikin kamu patah hati gini.”
”Duh... otakmu lagi konslet kali.. aku gak lagi patah hati... gini loch Jon, tadi pagi waktu aku sedang parkir motor, tanpa sengaja di depanku juga ada seorang akhwat yang juga sedang parkir motor.”
”Wah gitu aja kamu GR... dia kan kebetulan parkirnya di depan kamu. Mungkin karena tempat sudah full kali.”
”Wah kamu itu jangan potong pembicaraanku dulu donk... masih ada lanjutannya.”
”oh iya afwan Ya... silahkan dilanjutkan.”
”Tiba-tiba ada cowok yang nyamperin dia Jon... truz dengan seenaknya si cowok itu pegang tangannya akhwat sambil ngobrol dengan begitu akrabnya. Padahal sudah jelas aku berada tepat di depan akhwat tadi. Coba kamu bisa bayangin nggak.. klo kejadian itu juga terjadi juga sama kamu...”
”Ya... brarti kamu itu cemburu sama akhwat tadi.” tandas akhi Jono
”Aku gak taw... tapi mungkin juga kamu benar Jon. Namun cemburuku itu yang pasti dalam hal kebaikan. Aku cuma gak ingin melihat akhwat itu terjerumus seperti wanita kebanyakan saat ini. Entah kenapa rasanya hati ini sakit banget klo melihat mereka deket sama cowok yang bukan muhrimnya, padahal kamu tahu sendiri kan bagaimana sikap akhwat kepada ikhwan seperti kita... mereka itu teramat istimewa buat kita, mereka selalu menjaga pandangannya pada kita, bahkan saat kita sedang rapat di sebuah majelis mereka berusaha untuk tidak menampakkan auratnya pada kita, sekalipun itu suaranya.. yang mana suara mereka dapat menimbulkan fitnah buat kita. Sejujurnya seandainya mereka tahu... bagaimana perasaanku saat pertama kali masuk dalam organisasi dakwah ini, betapa terkejutnya aku saat mengetahui sosok wanita seperti mereka dimana pada saat itu aku masih jahil banget kan Jon... kamu tahu sendirilah Jon. Aku bagai menemukan mutiara di dalam tumpukan jerami, mereka juga sudah merubah pandanganku terhadap wanita... karena sebelumnya aku mengira semua wanita walau dengan penampilan apa pun adalah sama.. namun ternyata kenyataannya mereka sungguh berbeda. Sayangnya sebagian dari mereka hanya menganggap bahwa semua yang mereka lakukan itu adalah sebagai tradisi dalam organisasi kita saja.”
”Apa yang kamu katakan barusan memang benar, tapi kamu juga harus lihat kondisinya dulu dong Ya... jangan langsung maen tembak begitu... mereka pasti punya alasan tertentu. Apalagi di kampus kita kondisinya cowoknya lebih banyak di banding mereka yang cewek itu.” ketus akhi Jono.
”Iya.. aku paham maksudmu. Tapi apa yang Allah telah tentukan untuk kita itu pasti ada hikmah di dalamnya. Karena seluruh aspek kehidupan kita telah diatur dalam Islam agama yang maha mulia ini. Jika kita melenceng, pasti ada resiko yang akan kita tanggung... Karena sesungguhnya Islam itu telah mengangakat derajat wanita. Itulah yang membedakan saudari kita sesama muslim dengan wanita dari kalangan umat yang lain.”
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin agar mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Al-Azab :59). Balas Zakaria kepada akhi Jono.
”Tapi mana mungkin Ya...? sedangkan mereka kan tidak bisa lepas dari pandangan kita, hampir setiap hari kita bertemu mereka di kelas yang sama... apalagi jika sudah satu kelompok.” tanya akhi Jono penasaran.
”Klo masalah di kelas itu bisa dibilang sudah darurat Jon, karena kita sendiri tidak punya kemampuan untuk dapat menghindarinya. Namun klo boleh dibilang kita sudah terlanjur mengambil jalan yang salah.. baik itu aku, kamu, dan para akhwat. Karena kita menuntut ilmu yang tidak syar’i, jelas saja cara belajarnya tidak sesuai dengan syar’i. Akan tetapi kita tetap tidak boleh lengah... kita sudah berani menuntut ilmu disini, berarti kita juga sudah siap dengan segala resiko yang akan kita hadapi. Semua resiko itu adalah ujian yang menunjukkan tingkat ketakwaan kita kepada Allah. Maka klo di dalam kelas kita tidak dapat menghindari yang namanya ikhtilat, tentu saja diluar kelas kita lebih leluasa untuk menghindari ikhtilat itu. Semoga apa yang aku bicarakan ini diridho’i oleh Allah.”
”Wah aku gak menyangka rasanya baru kemaren aku masih liat kamu jadi preman kampus... tapi sekarang ngomongnya sudah seperti ustad saja..”
”Alhamdulillah itu semua karena hidayah-Nya, karena Allah sangat sayang pada kita semua.” kata Zakaria menasehati.

Setelah menyelesaikan pembicaraan, mereka berdua kembali konsentrasi pada pelajaran yang di sampaikan oleh dosen sampai pelajaran tersebut berakhir. Tepatnya pukul 10.00 setelah pelajaran usai Zakaria seperti biasa pergi ke masjid untuk menunaikan shalat sunnah. Setelah selesai shalat ia nangkring di depan masjid sambil membaca sebuah majalah kesayangannya. Saat itu keadaan masjid masih sangat sepi, tidak banyak orang yang berada dalam masjid untuk melaksanakan shalat sunnah sepertinya. Tidak lama kemudian datanglah sesosok pria berjenggot rada’ tebal dengan mengenakan celana panjang di atas mata kaki, klo orang bilang wajahnya agak mirip sama Nikki Tirta... walaupun cuma rambutnya doang yang mirip. Dia adalah ketua Organisasi Dakwah Kampus di tempat Zakaria, namanya akhi Rendi.

”Assalamu’alaykum, Kaifa haluka akh Zakaria?” sapa akhi Rendi.
”Wa’alaykumsalam.. Alhamdulillah baek akh..” balas Zakaria.
”Akh.. ana boleh minta tolong antum untuk nyebarin publikasi semua acara-acara rutin kita, tolong yang ini juga antum kasihkan ke ukhti Lia.” kata akhi Rendi sambil menyodorkan beberapa lembar poster kegiatan.
”Ukhti Lia... klo ana kasih ke akhwat yang lain boleh gak? kan akhwat bukan Cuma ukhti Lia aja...”
”Aduh kamu ini gimana... kita ini kan organisasi, jadi udah punya kewajiban masing-masing. Ukhti Lia itu kan juga koordinator sama seperti kamu di bag. Infokom. Emang kenapa, kamu punya masalah sama dia?” tanya akhi Rendi.
”Oh.. nggak kak, kita biasa-biasa aja... nggak ada masalah. Ok dah ntar aku sebarkan publikasinya.” jawab Zakaria.
”Oke klo begitu ana tinggal dulu ya... soalnya ana masih ada kuliah lagi.”
”Siip, beres kak...”
”Wassalamu’alaykum”
”Wa’alaykumsalam Warahmatullah Wabarakatuh.”

Kemudian Zakaria berpikir sejenak, ia khawatir bila ukhti Lia masih marah padanya. Ia juga tidak ingin masalah ini menjadi berlarut-larut dan merembet hingga kegiatan organisasinya menjadi terhambat. Zakaria pun memustuskan untuk meminta maaf dan ia berencana untuk memberikan sesuatu kepada ukhti Lia sebagai wujud permintaan maafnya. Akhirnya siang itu Zakaria pergi ke toko buku untuk mencari buku yang pas dan sangat bermanfaat untuk ukhti Lia, dengan harapan ia dapat memaafkan dan menghapuskan salah paham diantara mereka. Sore harinya kira-kira pukul 15.30 sehabis shalat Ashar, Zakaria sudah menunggu di hijab masjid untuk bertemu dengan ukhti Lia yang sudah ia hubungi sebelumnya.

”Tuk.. Tuk...Tuk... Assalamu’alaikum, Ada keperluan apa akh?” sapa ukhti Lia di balik hijab setelah mengetuk papan hijab.
”Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh... iya ukhti ana ada perlu sebentar. Tadi ana dikasih amanat sama akhi Rendi untuk menyampaikan poster kegiatan kita ini.”
”Syukron akh, InsyaAllah nanti langsung ana pasang di mading keputrian dan juga akan ana sebarkan lewat milis serta blog kita. Trus masih ada lagi akh?”
”Iya ukhti... ana maw kasih buku ini sebagai permintaan maaf ana atas kejadian 2 yang lalu. Ana rasa kemaren anti salah paham dengan yang ana bicarakan kemaren. Semoga anti berkenan untuk menerimanya.”
”ana gak bisa terima buku pemberian akhi ini, klo soal itu ana sudah maafkan. Afwan akh, waktu ana tidak banyak disini. Masih ada banyak hal penting yang harus ana kerjakan.” kata ukhti Lia menolak pemberian Zakaria.
”Klo begitu terima saja buku ini sebagai hadiah dari ana.” desak Zakaria dengan nada yang lembut.
”Afwan jiddan akh, jalan kita masih panjang....”
”Maksud ukhti apa... buku ini hanya sebagai wujud permintaan maaf ana, tapi klo memang ukhti tidak berkenan menerimanya.. ana juga tidak akan memaksa. Meski begitu ana bersyukur anti sudah maw memaafkan ana. Klo begitu buku ini ana sumbangkan saja untuk perpustakaan keputrian.”
”Terserah akh....”
”Ya sudahlah ukhti mungkin itu saja, jazakillah ya ukhti.”
”Waiyyakum” jawab ukhti Lia.
”Assalamu’alaykum”
”Wa’alaikumsalam”

Dengan perasaan sedikit kecewa Zakaria tetap tidak putus asa untuk terus bersikap baik di depan ukhti Lia, karena dia sangat mengerti bagaimana cara terbaik dalam menghadapi berbagai macam sifat wanita yang tidak mudah untuk dia ditebak. Zakaria juga tahu bahwa wanita cenderung memakai perasaannya dalam menghadapi setiap permasalahan yang muncul. Jadi dia sebagai laki-laki memang harus ekstra sabar dalam menghadapi wanita. "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, dan hendaklah engkau sekalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita. Sebab mereka itu diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Jika engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya dan jika engkau membiarkannya, ia tetap akan bengkok. Maka hendaklah kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada wanita." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Diiiiirrrtt, diiiiirt, diiiiiiiiirt… ( Nada getar di HP Zakaria tanda ada panggilan masuk).

”Assalamu’alaykum...”
”Wa’alaykumsalam Warahmatullah Wabarakatuh...”
”Afwan akhi ana ganggu pagi-pagi begini...” kata Ukhti Lia.
”To the point aja ukhti,.. sebenarnya ada apa?”
“Ya ana cuma pengen tanya sekarang tuch udah jam berapa ya akh?”
”What... kamu bercanda ya...?? Klo gak penting ana tutup neh telponnya.”
”Iya... iya.. sabar akhi, ana cuma bercanda. Jangan ngambek gitu dong.” sahut Ukhti lia mendinginkan suasana.
”Lain kali jangan kamu ulangi lagi ya...” balas Zakaria.
”OK mas akhi... ana janji deh swearrr. Hmm.. Sebenernya ana cuma pengen minta maaf atas kejadian yang kemaren lusa itu akh... bener ana gak bermaksud apa-apa koq akh. Tapi ana paham klo ana waktu itu memang salah, pokoknya ana deh yang salah akhi... please maafkan ana ya..”
”Ana sebenernya tanpa ukhti minta maaf begini pun, pasti udah ana maafin kok... yang penting ukhti udah sadar tuch, ana dah seneng banget loch. Jadi kita sebagai seorang muslim harus benar-benar menjaga pergaulan... apalagi kita juga jadi teladan bagi temen-temen kita di kampus.”
”Iya akhi... syukran katsiir atas nasehatnya.”

Tapi di dalam benak Zakaria masih bertanya-tanya, rasanya dia benar-benar tidak percaya klo ukhti Lia bakal minta maaf sama dia. Seperti mimpi saja...

”Aduh... aduh.. ukhti jangan pencet hidungku dong, ana gak bisa bernafas neh....”
”Akhi bicara apa seh... ana disini gak lagi ngapa-ngapain. Ana bener-bener gak ngerti maksud akhi.”
”Ukh.. please ukh..!! lepasin tangannya dari hidungku... kayaknya nyawaku udah gak lama lagi neh...!”

Dan ternyata Zakaria mulai terbangun dari tidurnya, ia baru sadar klo yang mencet hidungnya tuch adik sepupu anak dari pamannya yang baru sekolah SD kelas 4. ”Aduh dek Bella kok jahil banget sih.. lihat hidung kakak jadi merah gini...” tandas Zakaria sedikit jengkel. ”Yah kak Zakaria sih... dari tadi mamaku sudah panggil-panggil kak Ya, tapi masih tiduran aja... Tuh mamaku udah siapin sarapan buat kak Ya.” jawab Bella. ”Oh.. iya maapin kakak ya Dek.. udah marah-marah.. he3.. maklumlah masih bujang. Ya udah kakak mandi dulu...”

Setelah menyelesaikan sarapan pagi yang paling digemarinya di antara masakan-masakan tante Maria (Klo nama aslinya sih ”Mariyati” (^_^!) ), Zakaria pun menyiapkan motor kesayangannya untuk berangkat ke kampus.”Om.... Tante.... aku berangkat kuliah dulu ya..” kata Zakaria sambil mencium tangan keduanya. ”Hati-hati Ya... di jalanan sekarang banyak operasi penjaringan ’gepeng’ (gelandangan).” kata Om Jayus mengingatkan. ”Emang tampang saya mirip gepeng apa Om..!!” sahutnya. ”Ya gak juga seh... cuma kamu lebih jelekan dikit.” balas Om Jayus. ”Oke deh Om, guwa cabut dulu... Bye.. Bye...” balas Zakaria.

Sesampainya di kampus, Zakaria langsung memarkir motornya di tempat paling pojok dekat pos penjaga tempat parkir. Namun belum sempat ia menginjak jagang motornya, ternyata di depannya sudah ada ukhti Lia yang lebih dulu memarkir motornya. ”Ups.. ada ukhti Lia rupanya.. aku kasih salam gak ya.. tapi lebih baik gak usah ah, kelihatannya dia masih marah sama aku. Tapi bagaimana caranya supaya dia maw maapin aku ya. Yah mungkin satu-satunya cara aku harus minta maaf sama dia.” kata Zakaria dalam hati. Belum sempat Zakaria melangkahkan kakinya beranjak pergi dari motornya, tiba-tiba ukhti Lia dihampiri oleh seorang lelaki yang tanpa basa basi seketika itu langsung menggenggam erat kedua tangan Lia.

”Eh Anton, pasti kamu telat juga ya...” tegur ukhti Lia pada sahabatnya itu.
”Iya Li.. aku telat juga. Kita sama-sama telat deh...^_^ oh iya tugas yang kemaren kamu udah ngerjain belom Li..?” jawab Anton.
”Klo aku udah ngerjain... emang kenapa Ton?”
”Ya aku ingin pinjam tugasmu buat referensi, bolehkan Li..?”
”Nggak boleh Ton, sebelum kamu lepaskan tanganmu ini...”
”Oh iya maaf Li, aku gak sadar... gmn Li bolehkan?”
”Bilang aja kamu maw nyontek punyaku, tapi gak apa-apa seh kan kita beda kelas.. neh Ton.. tapi cepet balikin ya!”
”Okey... thanks ya..”

Wajah Zakaria langsung pucat pasih setelah melihat keakraban mereka berdua, seperti ada awan mendung di atas kepalanya dengan hujan rintik-rintik yang membahasinya. Namun Zakaria lekas berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.

”Impossible.... sungguh ini tidak mungkin... aku tidak percaya, oh.. ukhti Lia kamu anggap aku ini apa, aku bukan batu di tengah gurun pasir... mengapa kamu biarkan laki-laki itu menyentuh tanganmu yang suci itu tepat di depan mataku. akhirnya kini aku tahu siapa dirimu, ternyata kamu juga sama seperti wanita lainnya... kamu manis.., bibirmu indah.. pantas saja dia dekati kamu. Uuurgh.. Gelapnya!! Kok otakku jadi hang gini... tapi sudahlah kamu memang benar-benar wanita.” dalam batin Zakaria.

Romaninlove Muslim Edition

“Papa… ayo bangun… Allah sudah memanggil kita, dengerin tuch.. sudah terdengar suara Adzan subuh, cepet Pa bergegas pergi berjama’ah di masjid.. nanti ketinggalan loch..!” Namun ditengah terlelapnya Zakaria seketika terbagun dari tidurnya. ( Dengan pandangan mata segaris, Zakaria mulai terjaga dari tidurnya sambil menguap berulang kali ). ”Astaughfirullah ternyata aku mimpi lagi, Ya Allah apa arti dari mimpiku ini.. apa yang telah Engkau rencanakan untukku.. Siapa gadis yang ada dalam mimpi itu, mengapa wajahnya tak terlihat jelas olehku. Mungkinkah dia itu adalah pendamping hidupku kelak... Sungguh telah aku pasrahkan semuanya kepada-Mu Ya Rab segala urusanku di dunia ini”.

Dengan wajah yang sedikit memerah ditambah lagi ia masih merasa deg degan, dan masih terngiang di benaknya akan mimpinya barusan. Tak hentinya ia tersenyum bahagia, pupus sudah harapan Zakaria yang selalu berharap agar di jauhkan dari segala fitnah wanita... ia merasa sangat bodoh dengan komitmennya selama ini untuk dapat hidup tanpa wanita sekalipun dengan dalih agar dapat lebih khusyuk dalam beribadah kepada Allah. Ternyata Allah telah menyadarkannya melalui mimpi. Kenapa ia haramkan, yang Allah halalkan untuknya... yang demikian itu agar mereka bertambah takwa kepada-Nya. Bagi Zakaria belum pernah terbayangkan jika mimpi itu menjadi kenyataan, apalagi ini adalah mimpi untuk yang kesekian kalinya, bukankah dengan memiliki seorang istri yang shalihah.. maka akan bertambah ketakwaan-Nya kepada Allah Rab semesta alam. Apalagi bila ketakwaannya itu dibangun atas dasar cinta sepasang hati yang mengharap ridho dari Allah, maka atas izin Allah pintu surga akan terbuka bagi keduanya. ”Barang siapa diberi istri shalihah oleh Allah, sesungguhnya Allah menolongnya di atas separo agamanya. Maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah pada separoh sisanya.” ( HR. Thabrani ).

Tak lama kemudian terdengar Adzan Subuh, segera Zakaria pergi berjama’ah di masjid yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Seusai shalat subuh Zakaria selalu menyempatkan untuk membaca Al qur’an atau pun muraja’ah hafalannya. Zakaria memang bukanlah anak yang pandai, namun ia punya komitmen yang kuat untuk segala urusan yang ingin di capainya termasuk dalam urusan dakwah. Maklum saja di kampusnya ia termasuk salah seorang aktivis dakwah yang terbilang sangat rajin, namun jangan salah meski begitu ia juga termasuk aktivis dakwah yang terkenal bandel dan terkadang juga keras kepala bila menghadapi suatu permasalahan. Yah maklumlah karena Zakaria sendiri masih belum merasa kalau dirinya udah dewasa, lebih tepatnya sifatnya masih terlalu kekanak-kanakan persis seperti anak umur 7 atau 8 tahunan. Herannya bila ia sudah memimpin sebuah majelis terkadang ia terlihat seperti laki-laki yang bijak, kompeten dan mampu memecahkan setiap permasalahan yang di hadapi organisasi, ide-idenya cukup lugas dan mudah untuk dipahami oleh semua anggota majelis, walaupun tak jarang juga bila ia terlihat amat bodoh dan kurang masuk akal karna sifatnya yang kekanak-kanakan itu.
Namun sebenarnya yang selama ini ada dalam hati Zakaria adalah rasa benci yang belum bisa ia padamkan terhadap wanita. Terus terang saja karena Zakaria yang ada saat ini sangat berbeda masa lalunya. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan apalagi saat itu ia masih jahil dan buta terhadap agamanya sendiri. Zakaria pun sudah lebih dulu meneguk manisnya dunia. Memang saat-saat puber di masa muda membuatnya semakin penasaran terlebih lagi dia memang belum di bekali ilmu yang matang, akhirnya sampailah dia masuk ke dalam jurang yang lebih dalam. Singkat cerita, tak disangka ternyata gadis yang sudah lama bersahabat dengan Zakaria itu mampu merubahnya menjadi seorang pemuda yang santun, selalu berpikir realistis, dan semakin taat bertakwa kepada Allah. Apalagi di kala dia kehilangan semangatnya, gadis itu yang selalu bisa membuat dia untuk bangkit menjalani hidup yang lebih baik lagi. Begitu banyaknya kebahagiaan yang gadis itu berikan untuk Zakaria, hingga akhirnya dia pun berhasrat memilikinya lebih daripada ini... lebih dari sekedar sebagai sahabat. Semakin lama dia pun kian jatuh hati pada gadis itu, walau sebenarnya ia memang sudah jatuh hati pada pandangan pertama. Namun Zakaria hanya mencintai lahirnya saja sedangkan apa yang ada dalam batin gadis itu tentu saja di luar batas kemampuan Zakaria untuk mengetahuinya. Sampai akhirnya ia pun harus menerima kenyataan pahit bahwa cinta sejatinya bertepuk sebelah tangan, gadis pujaan pun semakin lama semakin jauh darinya bahkan hilang entah kemana bersama harapan yang ia sandarkan padanya. Hingga bertahun-tahun lamanya ia terus mencari gadis itu sampai ia putus asa dan merasa semua usahanya sia-sia saja. Batinnya terasa amat pedih, seakan dia baru saja kenal gadis itu dan amat rindu padanya... namun esok harinya dia sudah pergi meninggalkannya.

Saat ini Zakaria benar-benar phobia dengan kata ”Cinta” apalagi bila sudah melihat wanita seakan bikin sensi dia saja. Mungkin itulah yang menyebabkan Zakaria selalu menasehati teman-temannya yang juga aktivis dakwah di kampus, terutama pada akhwat agar benar-benar menjauhi yang namanya ikhtilat (bercampur baurnya antara laki-laki dan wanita yang bukan muhrim dalam suatu tempat). Tak dapat disangkal lagi pergaulan antar mahasiswa dan mahasiswi di kampus sudah menjadi hal yang biasa. Walaupun terasa sulit awalnya untuk menjaga pandangan dan memposisikan diri dengan tuntunan yang syar’i dalam pergaulan di kampusnya, tapi lama kelamaan Zakaria merasakan nikmat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hatinya merasa amat tentram, ia bisa mengendalikan mata, telinga, kaki, dan tangannya untuk bertakwa pada Allah serta menjaga lisannya dari perkataan yang tidak bermanfaat selain untuk menyeru kepada kebenaran. Kini masa lalunya yang kelam hilang sudah bersama tangis sedih dalam doa yang ia panjatkan memohon ampunan dari Allah Sang Maha Pencipta. Malam yang kelabu telah tergantikan oleh pagi yang berseri mengiringi langkahnya untuk meneruskan hidup dalam dunianya yang baru setelah ia mampu memahami apa tujuan ia hidup di dunia. ”Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” Sesungguhnya kita hidup di dunia ini bagaikan musafir yang menempuh perjalanan yang cukup panjang hingga batas waktu yang telah ditentukan dan menjadi tujuan akhir kita yaitu menghadap Allah. ”Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah:156)

Berlalu sudah rasa sedih gundah gulana yang ia alami, kini jalan hidup yang baru telah membuka matanya. Zakaria begitu bersyukur karena ia telah diberi hidayah oleh Allah dan juga para sahabat yang senantiasa mengingatkannya ke dalam kebaikan. Pandangannya terhadap wanita pun telah sedikit berubah, ternyata selama hidupnya ia baru menyadari bahwa masih banyak wanita shalihah yang pandai menjaga diri, menjaga pandangan, tidak suka bertabaruj (mengumbar aurat) dan mereka itu adalah para saudari dari kalangan aktivis dakwah kampus yang seprofesi dengannya. Meski begitu ia pun sadar bagaimana pun mereka tetap wanita. ”Tiada aku meninggalkan suatu fitnah sesudahku lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada godaan wanita.” wasiat Rasullah terhadap kaum pria. (HR. Bukhari dan Muslim). Seiring dengan perubahan pada diri Zakaria ia pun kini merasakan suasana yang baru dan harus beradaptasi dengannya karena sejak tahun ini dia sudah pindah dan tinggal bersama paman dan bibinya yang ada di luar kota namun masih tidak begitu jauh hanya butuh waktu kurang lebih 40 menit untuk bisa sampai ke kampusnya.

Tidak terasa kini ia telah menempuh kuliahnya selama lebih dari 2 tahun, dalam masa yang sudah ia habiskan itu manis dan pahitnya hidup telah ia jalani. Ketika itu saat mata kuliahnya telah usai Zakaria langsung berangkat menuju mushallah kampus untuk menunaikan Shalat Dhuha’. Namun di persimpangan jalan langkahnya terhenti saat ia mendengar ada suara seorang gadis yang memanggil namanya. Saat ia tengok ke belakang ternyata muncul sesosok gadis berjilbab lebar dan berbusana longgar yang ternyata seorang akhwat. ”Afwan akh, ada yang ingin ana bicarakan berdua sama akhi.” tegur si Akhwat. Serentak Zakaria mulai menundukkan pandangannya, meski pun ia sempat menatap wajah gadis itu walau hanya sekejap. Ia bingung harus berbuat apa di satu sisi akhwat itu adalah seniornya di organisasi dakwah kampus mungkin juga yang ingin dia bicarakan itu begitu penting, namun di sisi lain Zakaria takut terjadi fitnah yang bisa menimpa mereka berdua. Tidak lama kemudian akhwat itu duduk di sebuah kursi yang di depannya terdapat meja bundar untuk tempat mengobrol, padahal Zakaria belum sempat berkata apa pun. Akhirnya ia pun menuruti apa keinginan si akhwat tadi, ia pun duduk tepat dihadapannya.

”Sebenarnya apa yang ingin anti bicarakan, tapi waktu ana tidak banyak disini.” tandas Zakaria.
”Yah ana juga taw akh, sebenernya ana juga gak enak klo ngobrol disini.”
”Lah terus... emang penting banget ya ukh!” balaz Zakaria.

Bukannya menjawab pertanyaan, si akhwat malah tersenyum sambil menutup bibirnya dengan tangan kanannya. Zakaria malah semakin penasaran dibuatnya, sebenarnya apa yang ingin dibicarakan gadis ini. Ia mulai merasa deg degan jantungnya mulai berdetak mengikuti jarum jam yang dilihatnya. Sungguh hari yang aneh, baru kali ini dia bertatapan langsung tanpa hijab dengan seorang akhwat yang biasanya tidak pernah saling tegur sapa jika berpapasan dengannya. Bila di perhatikan si akhwat seperti biasa saja dengan Zakaria, dia tidak menundukkan pandangannya malah semakin menggoda dengan senyumannya itu.

”Akh.. antum lucu juga ya, masak baca buku pake terbalik gitu...” seru si akhwat.

Aduh... sial bener nasib Zakaria, ketahuan deh klo dia lagi grogi. Lantas di baliknya buku yang sedang menutupi wajahnya itu tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun karena merasa begitu malunya.

”Ukhti cepet katakan yang ingin ukhti sampaikan sama ana, supaya tidak berlama-lama disini.”
Akhirnya akhwat itu mulai masuk ke topik utamanya. ”Sebenernya ana cuma pengen tanya, ntar sore tuch kajian rutinnya ada apa nggak?.”
”Ya.. biar ana bisa persiapan lebih matang lagi gitu akh.” lanjut si akhwat.
”Cuma itu saja...??.” tanya Zakaria.
”Yups...”
”Kamu keterlaluan ukhti, klo soal itu saja kan bisa lewat sms... klo pengen cepet ya bisa hubungi ana lewat telpon. Atau ukhti bisa tanya langsung sama ketua!.” jawab Zakaria sedikit marah.
”Yah kok akhi jadi sensi gitu... ana kan cuma pengen tanya aja sama akhi, kebetulan ketemu akhi disini ya ana tanya aja langsung.”
”Ya gak bisa gitu dong ukh, klo ukhti terus-terusan begini bagaimana mungkin dakwah kita bisa berkembang.”
”kok akhi malah menyalahkan ana. Ya sudah klo memang begitu, cukup sampai disini saja pembicaraan kita... ana gak akan pernah ngerepotin akhi lagi.. Wassalamu’alakum.”
”Ukhti Lia tunggu dulu, anti salah paham!!” seru Zakaria.

Seketika Ukhti Lia pun berlalu dari hadapannya dengan sisa berkas wajah yang masih memerah karena emosinya.

”Astaughfirullah... kenapa malah jadi begini, sebenarnya ini salah siapa yah. Kok jadi tambah membingungkan begini. Yang sensitif dan mudah tersinggung itu aku atau dia... dasar wanita susah dimengerti.”